WACANA ISLAM DAN NASIONALISME


Wildan Efendi

Allohumma sollialasayidina Muhammad Wa’ala alihi wasohbihi wassalim.

Berbicara tentang konsep islam dan Nasionalisme maka kita tidak pernah terlepas dari wacana islam Nusantara yang senantiasa menjadikan islam sbagai pandangan dan penyempurna tradisi, bukan justru melenyapkan tradisi,  perdebatan  hubungan Islam dan Nasionalisme telah berlangsung sejak didirikannya Republik Indonesia. Fenomena tersebut  mulai mengemuka dalam perumusan dasar negara. Misalnya bisa dibaca dalam perdebatan-perdebatan Soekarno di satu pihak, Muhammad Natsir, Wahid Hasyim, Sukiman, Mohammad Roem, Agus Salim dan yang lainnya di pihak lain. Yang satu ingin Islam sebagai dasar negara, yang lain menginginkan Pancasila; yang satu menginginkan agama sebagai dasar kebangsaan, yang lain ingin kesatuan bangsa, sebagaimana pernah di tulis oleh Achmad Muhibbin Zuhri dalam konsep tolernya (republika 2012)

Konsep  nasionalisme tidak bertentangan dengan Islam dan bahkan merupakan bagian dari Islam itu sendiri. menjadi seorang muslim yang baik, tidak berarti menjadi seorang yang anti-nasionalisme; Islam tidak bertentangan dengan Nasionalisme dan bahkan keduanya bersenyawa. Fakta itulah yang telah ditunjukkan para perintis perjuangan kemerdekaan Indonesia tempo dulu termasuk oleh Hadrotus syaikh KH Hasyim Asyarie dalam mengeluarkan Fatwa Resolusi Jihadnya yang berisi Fatwa atau resolusi jihad Hasyim berisi lima butir. Seperti ditulis Lathiful Khuluq berjudul "Fajar Kebangunan Ulama, Biografi Kiyai Hasyim Asyari" yang diterbitkan LKiS pada 2000 lalu, butir Pertama resolusi jihad berbunyi; kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus wajib dipertahankan. Butir ke dua; Republik Indonesia sebagai satu-satunya pemerintahan yang sah harus dijaga dan ditolong. Ke tiga; musuh republik Indonesia yaitu Belanda yang kembali ke Indonesia dengan bantuan sekutu Inggris pasti akan menggunakan cara-cara politik dan militer untuk menjajah kembali Indonesia.Ke empat; umat Islam terutama anggota NU harus mengangkat senjata melawan penjajah Belanda dan sekutunya yang ingin menjajah Indonesia kembali. Ke lima; kewajiban ini merupakan perang suci (jihad) dan merupakan kewajiban bagi setiap muslim yang tinggal dalam radius 94 kilo meter, sedangkan mereka yang tinggal di luar radius tersebut harus membantu dalam bentuk material terhadap mereka yang berjuang.Semangat dakwah antikolonialisme sudah melekat pada diri Hasyim sejak belajar di Makkah, ketika jatuhnya dinasti Ottoman di Turki. Menurut Muhammad Asad Syihab (1994), Hasyim pernah mengumpulkan kawan-kawannya, lalu berdoa di depan Multazam, berjanji menegakkan panji-panji keislaman dan melawan berbagai bentuk penjajahan. . Sehingga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan bangunan nation-state nya merupakan bentuk final yang harus tetap dipertahankan, karena merupakan hasil jihad dan ijtihad umat Islam dalam proses sejarah yang  sangat panjang, dalam sebuah hadits disebutkan

Rasulullah Saw. bersabda: “Hubbul wathan minal iman” (Cinta tanah air itu bagian dari iman).
Diskursus Islam-Nasionalisme akhir-akhir ini menguat kembali seiring dengan terbukanya kran demokrasi dengan kebebasan mengekspresikan gagasan di kalangan warga negara terutama jamiya Nahdlatul Ulama. Muncullah suatu genre muslim transnasional yang merasa tidak perlu disatukan oleh nation, tidak lagi mau terbatasi kantor imigrasi dan paspor. Menurut mereka, persatuan mutlak dibangun berdasar kesamaan akidah. Mereka ini adalah sekelompok muslim yang konsisten meletakkan agama di atas bangsa dan setia mengampanyekan gagasan khilafah universal yang lintas negara. Bagi mereka, nasionalisme tidak penting bahkan tercela, karena merupakan produk barat dan hanya akan memecah belah umat Islam, kalau mau diperjelas katakanlah saja itu HTI, bukan Hizbut Tahlil ya bossss(HTI adalah partai politik (parpol) yang bercita-cita memiliki kekuasaan / mendirikan negara sendiri yang mereka sebut sebagai Khilafah Islamiyah (versi An-Nabhani), tetapi tidak mengakui negara Khilafah versi lainnya seperti ISIS (di Irak), Khilafatul Muslimin (Indonesia), dan lainnya.
Demikian pula HTI tidak mengakui Nation State (negara bangsa) seperti Indonesia, dll. Bahkan menurut mereka, Indonesia adalah negara yang menganut sistemnya orang kafir. Mereka pun menentang paham Nasionalisme, paham kebangsaan yang mengandung makna kesadaran dan semangat cinta tanah air/Muslimedianews.com.)
Selain karena alasan ideologis, resistensi terhadap nasionalisme juga disebabkan oleh reduksi terhadap makna nasionalisme itu sendiri sepanjang Orde baru. Pada masa Orba, nasionalisme tampaknya ditafsirkan top-down, sehingga masyarakat tidak menganggapnya sebagai ide kreatif dari bawah. Lalu, nasionalisme dianggap paket rezim status quo yang bertindak totaliter. Pancasila, kesamaan teritori, bahasa, etnik dan lain sebagainya yang sebenarnya merupakan faktor simbolik perekat nasionalisme (Daniel Dakhidae: 2002), terkesan lebih ditekankan daripada faktor substantif seperti keadilan dan kepercayaan. Kenyataan itu turut mendorong warga dan sebagian umat Islam untuk –paling tidak mempertanyakan ulang signifikansi nasionalisme dan relasinya dengan Islam.


Bagaimana sebenarnya relasi Islam dan Nasionalisme serta implikasinya dalam kehidupan bernegara, menjadi menarik untuk kembali diperbincangkan dalam konteks membuka ruang dialog untuk mengeliminir potensi-potensi gerakan radikal yang mengusung gagasan dan simbol-simbol agama (Islam).

Islam : Ajaran dan Sejarah
Islam mengusung misi kesejahteraan bagi alam semesta (rahmatan li al-`alamin), dimana manusia sebagai khalifah ditugasi untuk mewujudkannya. Kemaslahatan dalam hal ini menjadi sasaran (maqashid) dari Syari’at Islam itu sendiri. Ia meliputi seluruh aspek kehidupan umat manusia sebagai individu, dan dalam hubungannya dengan manusia dan Sang Pencipta, kapanpun dan dimanapun. Oleh karena itu, ajaran Islam bersifat universal. Sifat universalitasnya itulah yang memungkinkan Islam berdialektika dengan historisitas yang serba berubah sesuai dengan perkembangan kemaslahatan umat manusia. Dalam kerangka ini, di dalam sumber-sumber ajaran Islam terdapat petunjuk-petunjuk tertentu yang bersifat praktis dan hanya memerlukan sikap tawazun dan taabudi Tetapi juga terdapat medan ijtihad terkait dengan dinamika kemaslahatan manusia, termasuk dalam soal bagaimana mereka harus membangun sistem sosial, politik dan bernegara.

Merupakan fakta yang tidak diragukan bahwa ajaran Islam dapat memasuki dan berkembang di daerah geografis dan lingkungan kultural yang berbeda-beda. Karena substansi Islam sendiri adalah ajaran yang relevan dan kompatibel untuk setiap periodisasi sejarah dan kawasan manapun (shalih li kulli zaman wa makan).Wahyu ditujukan kepada semua manusia agar mereka memeluk Islam dan ditujukan secara khusus kepada orang-orang mukmin untuk mematuhi aturan-aturannya. Mematuhi ajaran Islam berarti memutuskan hubungan dengan orde sosial kesukuan (‘ashabiyyah) dan mengidentifikasikan dirinya dengan kesatuan baru. Seperti halnya agama semitik lainnya, kecuali Yahudi, Islam dapat masuk kategori agama translokal atau transnasional.  Namun afiliasi dan loyalitas kepada komunitas yang berdasarkan keimanan tidak berarti bahwa Islam melarang ikatan-ikatan lain selain ikatan berdasar keimanan. Alih-alih, Islam menganjurkan bentuk-bentuk ikatan lain, seperti ikatan keluarga, selama tidak bertentangan dengan Islam.

Secara doktrin, orang Islam memang tidak mengenal batas-batas kewilayahan, kebangsaan, negara, bendera, dan macam-macam simbol lainnya. Sebagaimana halnya sejarah Islam juga mengenal sistem khilafah universal. Tetapi sebetulnya itu tidak lain merupakan realitas historis yang merupakan konsekuensi saja dari penaklukan demi penaklukan yang dilakukan penguasa-penguasa Islam saat itu, dan proses sejarah menyebut mereka ini dengan sebutan khalifah.

Perubahan terjadi ketika abad ke-18 dan ke-19 mulai terjadi kompartementalisasi wilayah-wilayah di dunia. Dalam bentuk yang modern, juga terjadi balkanisasi, seperti terpecahnya negara-negara kecil di Semenanjung Balkan. Memang dasar-dasarnya bisa nation atau kesatuan bangsa, dan bisa juga agama.

Tapi kenyataan historis mengantarkan umat Islam ke dalam alam modern yang berbasis nation-state.

Gelora nasionalisme dan lain sebagainya itu, selalu saja diletakkan dalam konteks bagaimana memerdekakan diri dari penjajahan dan penguasaan pihak asing. Oleh karena itu, banyak sejarawan menulis tentang fajar atau bangkitnya nasionalisme di awal abad ke-20, baik di Asia, Afrika, dan tempat-tempat lainnya. Sebab, memang pada awal abad ke-20 itulah kekuatan-kekuatan dan belenggu-belenggu kolonial mulai terlepas.

Jadi, dengan membaca secara cermat realitas sejarah tersebut, dapat disimpulkan bahwa pada term nasionalisme dimaksud mengandung gagasan kecintaan terhadap tanah air, mempererat persaudaraan, bela negara untuk membebaskan diri dari kolonialisme. Nasionalisme dalam makna demikian itu, tentu tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Sebaliknya, bahkan merupakan bagian dari Islam karena mencerminkan nilai-nilai universalnya. Nasionalisme yang ditolak oleh Islam, adalah ta’ashshub atau sikap fanatisme dan kecintaan berlebihan terhadap suku atau bangsa sehingga menimbulkan mudlarrat (bahaya) bagi pihak lain di luarnya. Nasionalisme semacam ini sepadan dengan chauvinisme, atau yang dalam istilah Syafi’i Ma’arif (tokoh muhamadiyah coy) disebut “Nasionalisme Ekspansif”, seperti paham yang dianut oleh Hittler dan Israel. Tentu saja hal itu bertentangan dengan ajaran Islam. Adapun “Nasionalisme Formatif” yang mengandaikan kecintaan terhadap tanah air (hubb al-wathan), pembebasan (hurriyyah), dan persaudaraan (ukhuwwah) justeru merupakan bagian dari ajaran universal Islam itu sendiri.

Dengan demikian, perbincangan menganai hubungan antara Islam dengan nasionalisme tidak harus diletakkan dalam posisi diametral. Menjadi seorang muslim yang baik, tidak berarti menjadi seorang yang anti-nasionalisme. Fakta itulah yang telah ditunjukkan para perintis perjuangan kemerdekaan Indonesia tempo dulu.


Tidak ada komentar:

Write a Comment


Top