Serikat Pekerja Kritisi UU Tapera



KARANGTENGAHSejumlah Organisasi Non-Pemerintah yang fokus di bidang kajian dan advokasi buruh, masing-masing di antaranya Federasi Nasional Serikat Pekerja Indonesia (FNSPI), FSPS, FSTSK, Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia (PPMI), GSBI, PPMI-SPSI, dan FSBDSI, bersama Trade Union Rights Centre menggelar diskusi tentang isu-isu penting membahas Undang-undang Tabungan Perumahan Rakyat (UU Tapera).

Diskusi yang dilaksanakan di Grand Tropic Suites Hotel, Jalan Letjend S Parman, Kav 3, Jakarta Barat, dihadiri oleh Ditjen PHI dan Jamsos –Kemenaker, dan Ditjen Pembiayaan Perumahan- Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.

Menurut
Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) FNSPI Kabupaten Cianjur, Asep Hermawan, diskusi ini bertujuan untuk memaparkan isu-isu penting dalam UU Tapera, serta memprediksi sejauh mana UU tersebut mampu mengakomodir kepentingan para buruh.

"Kami dan beberapa serikat yang ada di berbagai daerah lainnya akan menyikapi apa, untuk apa, dan bagaimana UU tersebut dibuat," jelasnya saat ditemui di Sekretariat FNSPI, di Kecamatan Karangtengah setelah pelaksanaan diskusi beberapa hari lalu.

Asep mengomentari, isi pasal demi pasal dari rancangan  UU tersebut, serta penjelasan Kementrian Tenaga Kerja dan Ditjen PU Pusat, dianggap sangat dilematis dan belum mampu mengakomodir kepentingan para buruh. Justru, menurutnya, semakin menyiksa kaum buruh. Ia berpendapat bahwa tak seharusnya pemerintah berlaku seperti itu, pemerintah wajib dan harus mampu menyediakan penghidupan yang layak bagi rakyatnya.

"Kaum buruh diiming-imingi mendapatkan rumah yang kepastiannya tidak jelas, diwajibkan mengeluarkan iuran melalui tabungan sebesar 2,5 persen dari gaji yang diterima setiap bulan dengan interval waktu cukup lama, sampai pensiun umur sekitar 58 tahun," tegasnya.

Hal senada dikatakan Bendahara Dewan Pimpinan Nasional (DPN) FNSPI, Badru, yang menyampaikan bahwa serikat-serikat pekerja mengkritisi hal tersebut dan dinilai bahwa ada pro dan kontra yang sangat jelas dalam pasal demi pasal, di antaranya kepesertaan yang bersifat wajib atau memaksa tanpa memandang kondisi buruh, baik itu karyawan tetap, outsourcing, dan buruh yang berpenghasilan dibawah Upah Minimum Kabupaten (UMK). Apabila tidak mau, akan diterapkan sanksi yang dalam pasal 73 ayat 1 ang berbunyi: "Setiap orang yang melanggar ketentuan dalam pasal 7 ayat (1), Pasal 11, Pasal 15 ayat (3), Pasal 16, Pasal 28, dan pasal 68 dapat dikenai sanksi administratif.

Sek
retaris DPN FNSPI, Ujang Misbahudin, ikut mengomentari bahwa sejumlah azas dan tujuan tidak dilakukan dari mulai perumusan sampai tahapan penandatangan. Ia menilai perumusan UU tersebut tidak bersifat terbuka, dan tidak berkeadilan.

"Buruh outsourcing dan buruh yang berpenghasilan dibawah UMK, bertentangan dengan persyaratan-persyaratan pihak bank pada umumnya," terangnya.

Diskusi yang dilaksanakan menghasilkan penolakan keras serikat-serikat pekerja, di antaranya FNSPI yang menolak UU Tapera diberlakukan, dan meminta pemerintah menghapus buruh outsourcing di Cianjur.

"Aksi jalanan akan dilakukan apabila diperlukan, dan rencana tidak lanjut kami akan meminta audensi dengan DPRD Komisi IV, dan dihadirkan dinas terkait untuk bisa mendorong dioptimalkan BUMD secara maksimal," pungkasnya.


Tidak ada komentar:

Write a Comment


Top