Radar Cianjur »
ARTIKEL
»
Negara (Selamanya) Darurat Korupsi...?!
Negara (Selamanya) Darurat Korupsi...?!
Posted by Radar Cianjur on Selasa, 14 Maret 2017 |
ARTIKEL
Oleh : ASMIL RUDI Pemerhati Masalah Politik dan Sosial
Kasus mega korupsi E-KTP, benar-benar
mengguncang negara. Korupsi yang gila-gilaan. Kejahatan yang luar biasa. Dari
anggaran proyek E-KTP sebesar 5,9 triliun, 51% digunakan untuk proyek, 49 %
digunakan untuk bancakan atau dibagi-bagi. Ini kejahatan yang sangat serius. Kisah
tentang korupsi tak kunjung berakhir, bahkan semakin menjadi-jadi. Ternyata,
etos kerja dan komitmen para pejabat dan politisi di negara ini, sangat jauh
dari apa yang kita harapkan. Mereka terus menerus menguras anggaran negara,
tanpa mempedulikan aturan hukum. Segala cara dilakukan untuk membocorkan
sirkulasi anggaran proyek dan program negara. Perampokan terhadap uang negara
terjadi dimana-mana. Hampir setiap ada proyek dan program negara, di situ ada
penyimpangan anggaran. Di situ ada korupsi. Di situ ada pelanggaran hukum. Penggerogotan
terhadap anggaran negara itu, tak ada henti-hentinya dan terus terjadi. Alokasi
dana untuk program pembangunan dan program yang menyangkut kepentingan publik
lainnya, tidak berjalan dengan maksimal. Apalagi akuntabel. Setiap dilaksanakannya
realisasi dari program negara, maka akan terjadi “penghematan” di sana-sini.
Hasil “penghematan” itu akan diserahkan sebagai upeti atau tanda terima kasih
kepada orang-orang yang dianggap telah berjasa meloloskan atau melancarkan
program tersebut. Biasanya, yang menjadi sasaran untuk diperas adalah perusahaan
pemenang tender, yang entah memenuhi ketentuan ataupun tidak, telah mendapatkan
proyek atau program negara. Sang pemenang tender itu, otomatis akan dimintai
setoran. Sesuai “kesepakatan jahat” sebelumnya. Korupsi menjadi bancakan. Bagi-bagi
jatah atau komisi, menjadi tradisi yang tidak pernah sirna. Malah terus
mengakar dan mendarah daging. Dari waktu ke waktu. Aspek etika dan kepatutan,
sudah tidak dihiraukan. Darurat korupsi yang tiada henti, telah melanda negara.
Dakwaan jaksa dalam sidang tipikor
beberapa hari lalu dengan menyebutkan sejumlah nama-nama besar yang diduga
terlibat dalam kasus tersebut, sungguh mengguncangkan situasi politik di negeri
ini. Dalam dakwaan tersebut, jaksa juga menyebutkan jatah yang diterima,
nominalnya sangat fantastis, oleh setiap anggota dewan, ketua fraksi, ketua
DPR, menteri dan yang lainnya. Kenapa negara ini masih saja didominasi oleh
orang-orang yang bermental penjahat? Orang-orang yang menjadikan rakyatnya
sebagai obyek penderita. Dampak dari mega kroupsi E-KTP tersebut, jutaan rakyat
belum memiliki E-KTP. Rakyat yang sudah melakukan perekaman E-KTP, menunggu
bertahun-tahun dan sampai saat ini belum memperoleh KTP yang dibuatnya. Alasan
yang umum adalah, blanko KTP nya habis, internetnya sedang error, petugasnya
tidak masuk, dan sebagainya. Dalam pelaksanaan program pembuatan E-KTP itu,
rakyat telah mengeluarkan anggaran untuk transportasi ke kantor kecamatan
terdekat. Karena pada umumnya perekaman E-KTP dilaksanakan di kantor
kecamatannya masing-masing. Kerugian yang telah dikeluarkan oleh masyarakat itu,
siapa yang harus bertanggungjawab, karena hak rakyat menjadi terabaikan dan
belum terpenuhi sampai kini? Belum lagi untuk keperluan urusan-urusan rakyat
lainnya yang mengharuskan persyaratan menggunakan E-KTP. Berapa besar lagi
kerugian yang harus ditanggung oleh rakyat. Terutama masyarakat miskin. Anehnya
pemerintah saat itu, tidak cepat tanggap untuk segera menyelesaikan soal itu
dan tidak pernah menyampaikan permintaan maafnya kepada rakyat, atas
terganggunya pelayanan publik tersebut.
Dari hasil survei terbaru,
menunjukkan bahwa lembaga terkorup adalah, DPR, birokrasi, DPRD, dan
seterusnya. Ini jelas mempertegas bahwa orang-orang yang duduk di legislatif
dan eksekutif, cenderung melakukan praktek korupsi. Baik itu yang ada di pusat
maupun di daerah. Jadi, baik yang di legislatif maupun di eksekutif, mulai dari
hulu sampai hilir, rawan korupsi. Negara dalam cengkeraman para koruptor. Realita
itu menjadi keprihatinan kita semua. Kemudian, kalau kita telusuri siapa orang
yang menjadi anggota legislatif dan pejabat di eksekutif itu, ya notabene mayoritas
berasal dari partai politik. Berkali-kali sudah kita bahas dan ketahui, baik
itu dari pengamat-pengamat politik nasional atau dari pakar-pakar lainnya,
bahwa terjadinya mega korupsi E-KTP disebabkan oleh kegagalan parpol dalam
membina atau mendidik kader-kadernya. Ujung-ujungnya adalah kenapa parpol jadi
sering kecolongan oleh manuver-manuver yang dilakukan oleh kader-kadernya.
Bagaimana tanggungjawab pengurus-pengurus parpol tersebut atas perilaku
kadernya yang suka melanggar hukum seperti korupsi? Kalau parpol masih tidak
mampu melaksanakan program kaderisasi untuk mencetak kader-kader yang kredibel,
kapabel dan punya komitmen tinggi terhadap bangsa dan negara, maka sampai
kapanpun negara tidak akan pernah lepas dari genggaman para koruptor. Apalagi
jika pengurus parpolnya sendiri memang korup, bagaimana mungkin anggota atau
kadernya akan bersih atau jujur. Pengurus parpolnya terlibat korupsi, secara
tersirat telah mengajak bawahannya sendiri untuk melakukan hal yang sama. Dan
yang paling mengerikan, jika ketua umum parpol menugaskan anggotanya untuk
mencari jatah dan komisi ke berbagai pihak. Tanpa mempertimbangkan atau mengacu
pada hukum yang ada.
Setelah jaksa membacakan dakwaannya
dengan menyebutkan sejumlah nama-nama besar, biasa, seperti pengalaman
sebelumnya, mereka ramai-ramai melakukan bantahan. Mereka menolak dikatakan
menerima sejumlah uang seperti yang sudah disebutkan oleh jaksa. Semua
membantah terlibat kasus mega korupsi E-KTP. Sandiwara yang ditunjukkan adalah,
mereka seolah-olah terkejut. Kaget. Mereka mengatakan sedang diuji. Ujian yang
seperti apa? Melakukan kejahatan kok dibilang ujian. Dengan logika yang
sederhana dari sejumlah nama-nama yang didakwakan itu, mustahil kalau semua
tidak bersalah. Andaikan saja, ada satu orang yang benar terlibat sesuai
dakwaan, kok orang itu tidak mau tampil dengan mengakui kesalahannya? Di satu
sisi, mereka benar-benar menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah. Di sisi
lain, asas itu hanya digunakan sebagai dalih untuk menghindar dari jerat hukum.
Budaya bantah-membantah sudah biasa dilakukan oleh para pejabat kita yang
ditetapkan sebagai tersangka korupsi. Budaya yang tidak sehat itu dipelihara
sampai turun-temurun. Toh yang membantah itu, pada akhirnya banyak yang di
penjara. Malah budaya untuk mengatakan yang sejujurnya tidak dipertahankan dan
tidak menjadi karakter bangsa sampai kini. Pejabat tidak menjadi motor untuk
melakukan yang terbaik untuk rakyat. Hal ini sangat merugikan buat perjalanan
bangsa dan negara ke depan. Generasi muda bahkan mendapat pelajaran, bahwa
jabatan hanya dimanfaatkan untuk berbuat curang. Pejabat menjadi identik dengan
pengkhianat.
Mereka yang membantah karena namanya
disebut terseret kasus mega korupsi E-KTP, diantaranya adalah Marzuki Alie,
Setya Novanto, Ganjar Pranowo, dan Gamawan Fauzi. Mereka menyebutkan tidak
menerima aliran dana dari siapapun. Itulah yang terjadi setelah nama-nama besar
itu muncul dalam persidangan E-KTP yang pertama. Perjalanan pengungkapan kasus
mega korupsi E-KTP, akan terus berlanjut. Posisi pemerintah harus benar-benar
jelas dan tegas, bahwa pemerintah mendukung atas penegakan hukum yang sedang
dilakukan oleh KPK. Kejelasan sikap pemerintah itu sangat diperlukan untuk
menumbuhkan kepercayaan masyarakat atas tegaknya keadilan. Keguncangan politik
yang mungkin akan timbul selanjutnya, harus segera diantisipasi. Tapi kalaupun
ada, keguncangan yang semacam apa? Enggak usah takut dengan isu akan terjadi
chaos. Bangsa ini akan lebih dewasa dan maju, jika kesempatan emas atau kasus
mega korupsi E-KTP dapat dituntaskan. Jangan sampai kasus itu menjadi layu
sebelum berkembang. Bisa juga menjadi berlarut-larut dan tidak jelas akhirnya
ceritanya. Atau nantinya para tersangka korupsi itu, ramai-ramai mengajukan
praperadilan, agar dapat lolos dari hukuman. Kalau perlu, angkat lagi isu
revisi undang-undang KPK, agar kewenangan KPK tidak terlalu besar. Kewenangan
KPK harus dibatasi. Dengan isu revisi tersebut, penanganan kasus yang sedang
ditangani, pasti terganggu. Segala cara dan langkah yang akan ditempuh itu,
tujuannya adalah agar mereka yang terlibat, dapat lolos dari vonis hakim dan
nama mereka tetap bersih di mata masyarakat. Mereka akan tetap dipercaya oleh
rakyat. Apalagi bagi mereka yang berniat akan mencalonkan diri dalam Pilkada
atau Pemilu Legislatif, yang akan datang. Selagi masih bisa menyelamatkan dan
membersihkan diri dari segala bentuk sanksi hukum apapun dan masih ada
kesempatan untuk manggung di dunia politik, maka mereka akan terus berkiprah,
sambil tetap berusaha sebisa mungkin, terus mencari kesempatan untuk menjarah
uang negara. Bagi para koruptor, dari fakta-fakta yang telah lalu, mereka tidak
akan insyaf atau menghentikan perbuatannya sebelum tertangkap. Mereka sudah
ketagihan mendapatkan dana dengan jumlah besar, tanpa memerlukan kerja keras. Syaratnya,
mereka harus bisa mendapatkan jabatan di eksekutif atau di legislatif. Juga di
yudikatif. Jabatan sekecil apapun dapat diupayakan sehingga menghasilkan
keuntungan fantastis. Contohnya, kasus seorang panitera pengadilan, tiba-tiba
bisa menjadi orang yang super kaya. Tentunya dengan cara-cara yang tidak benar.
KPK mengatakan, tidak gentar dengan
bantahan-bantahan yang sudah dilakukan oleh orang-orang yang sudah disebutkan
namanya dalam persidangan korupsi E-KTP. KPK tentu tidak sembarangan menetapkan
seseorang menjadi tersangka. Bahkan tersangka baru kemungkinan akan muncul. Kemana
anggaran E-KTP itu mengalir? Apakah ada parpol yang menerima aliran dana
tersebut? Atau mengalir kepada penguasa-penguasa lainnya ketika itu sedang menjabat?
Anggaran korupsi E-KTP itu, diprediksi mengalir sampai jauh. Jauhnya bisa
meluluhlantakkan pondasi kenegaraan yang sudah kita bangun selama ini. Apabila
parpol terbukti menerima aliran dana E-KTP dan itu diputuskan oleh pengadilan maka
parpol itu bisa saja dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi. Perlu diingat, bahwa negara ini bisa hancur
bukan karena penjajahan oleh pihak asing, tapi oleh perilaku para pejabat
negara itu sendiri.
Bencana bukan hanya ditimbulkan oleh
gejala alam, seperti gunung meletus, longsor, tsunami, gempa bumi dan
sebagainya. Tapi bencana yang lebih besar karena rusaknya sikap dan tingkah
laku manusianya itu sendiri. Rusaknya moral bangsa dapat lebih berbahaya
daripada bencana alam. Rakyat sudah capek, lelah, kesal, jenuh, marah dan
seterusnya, mengetahui dan melihat
perilaku pejabatnya yang dari tahun ke tahun, bukannya malah membaik, tapi
terus mengalami kemunduran. Bagaimana kita dapat menyongsong masa depan yang
lebih cerah, kalau kondisi negara masih dicabik-cabik oleh sekelompok
orang-orang penting.
Pemerintah seharusnya mengajak semua
elemen masyarakat, mulai dari tokoh agama, akademisi, aktivis, dan yang
lainnya, untuk terus memantau dan mengawal jalannya pengungkapan kasus mega
korupsi E-KTP. Pemerintah bersama dengan rakyat, mendukung KPK untuk melakukan
penuntasan kasus tersebut. Pemerintah sebaiknya menyampaikan statementnya
secara resmi, menyikapi terbongkarnya kasus mega korupsi E-KTP. Presiden
Jokowi, harus berani dan jangan hanya mengatakan, bahwa pemerintah akan mempercayakan semua
tahapan proses hukum, sepenuhnya diserahkan kepada KPK. Hal itu tidak cukup. Statement atau penegasan itu harus disampaikan
berkali-kali, agar penegakan hukum memenuhi rasa keadilan masyarakat. Ada
baiknya presiden memanggil para ketua umum parpol dan memberikan warning,
karena hampir semua yang terlibat itu berasal dari parpol. Perang melawan
korupsi harus terus menerus didengungkan dan dikobarkan. Pengawasan terhadap
kinerja aparat hukum harus ditingkatkan. Jika perlu jangan segan-segan mencopot
atau mengganti orang-orang yang menjadi penghambat tegaknya supremasi hukum.
Dari perjalanan negara ini, beberapa kali kita gagal memanfaatkan “peluang
emas”, dari kesempatan adanya mega kasus yang pernah muncul. Kasus BLBI, gagal
kita bongkar. Kasus Bank Century, gagal kita ungkap. Sekarang, kasus mega
korupsi E-KTP, apakah kita harus kembali mengulangi kejadian yang sama, untuk ke
sekian kalinya, gagal memanfaatkan “peluang emas”, yaitu gagal membongkar
secara tuntas kasus tersebut??...
Populer
-
*) Nanang Rustandi BEGITU berseliweran berbagai informasi dan berita di era Jaman Now. Semua harus disortir mana yang benar-benar infor...
-
TAMPIL: Salah satu siswa menunjukan kebolehan dalam lomba pementasan tunggal teatrikal. PEMBUKAAN Sport, Religion dan Art (Spect...
-
Anggota Komisi VI DPR RI Dr H. Djoni Rolindrawan, bersama para peserta sosialisasi empat pilar MPR RI, 4 Oktober 2018. CIANJUR - Pend...
-
CIANJUR- Rencana Dinas Pendidikan (Disdik) Jawa Barat (Jabar) untuk merubah nama-nama SMK di Kabupaten Cianjur menuai perhatian dari ...
-
GEKBRONG – Pada hari Selasa (15/03) kemarin, bertempat di Kantor Desa Bangbayang, Kecamatan Gekbrong, dilaksanakan Lomba Desa dan Pelaksa...
-
Ikuti Turnamen Mayasari Cup CIANJUR-Tim Futsal SMAN 2 Cianjur akan mengikuti turnamen futsal yang akan diselenggarakan Mayasari Cup Band...
-
JAKARTA-Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo mengatakan, seluruh menteri merupakan pembantu presiden. Karena itu ia memint...
-
Para generasi muda antusias kuti sosialisasi empat pilar MPR RI, yang dilakukan Anggota MPR Dr. H. Djoni Rolindrawan CIANJUR -Anggota ...
Tidak ada komentar: