Negara (Selamanya) Darurat Korupsi...?!

Oleh : ASMIL RUDI Pemerhati Masalah Politik dan Sosial

Kasus mega korupsi E-KTP, benar-benar mengguncang negara. Korupsi yang gila-gilaan. Kejahatan yang luar biasa. Dari anggaran proyek E-KTP sebesar 5,9 triliun, 51% digunakan untuk proyek, 49 % digunakan untuk bancakan atau dibagi-bagi. Ini kejahatan yang sangat serius. Kisah tentang korupsi tak kunjung berakhir, bahkan semakin menjadi-jadi. Ternyata, etos kerja dan komitmen para pejabat dan politisi di negara ini, sangat jauh dari apa yang kita harapkan. Mereka terus menerus menguras anggaran negara, tanpa mempedulikan aturan hukum. Segala cara dilakukan untuk membocorkan sirkulasi anggaran proyek dan program negara. Perampokan terhadap uang negara terjadi dimana-mana. Hampir setiap ada proyek dan program negara, di situ ada penyimpangan anggaran. Di situ ada korupsi. Di situ ada pelanggaran hukum. Penggerogotan terhadap anggaran negara itu, tak ada henti-hentinya dan terus terjadi. Alokasi dana untuk program pembangunan dan program yang menyangkut kepentingan publik lainnya, tidak berjalan dengan maksimal. Apalagi akuntabel. Setiap dilaksanakannya realisasi dari program negara, maka akan terjadi “penghematan” di sana-sini. Hasil “penghematan” itu akan diserahkan sebagai upeti atau tanda terima kasih kepada orang-orang yang dianggap telah berjasa meloloskan atau melancarkan program tersebut. Biasanya, yang menjadi sasaran untuk diperas adalah perusahaan pemenang tender, yang entah memenuhi ketentuan ataupun tidak, telah mendapatkan proyek atau program negara. Sang pemenang tender itu, otomatis akan dimintai setoran. Sesuai “kesepakatan jahat” sebelumnya. Korupsi menjadi bancakan. Bagi-bagi jatah atau komisi, menjadi tradisi yang tidak pernah sirna. Malah terus mengakar dan mendarah daging. Dari waktu ke waktu. Aspek etika dan kepatutan, sudah tidak dihiraukan. Darurat korupsi yang tiada henti, telah melanda negara.
Dakwaan jaksa dalam sidang tipikor beberapa hari lalu dengan menyebutkan sejumlah nama-nama besar yang diduga terlibat dalam kasus tersebut, sungguh mengguncangkan situasi politik di negeri ini. Dalam dakwaan tersebut, jaksa juga menyebutkan jatah yang diterima, nominalnya sangat fantastis, oleh setiap anggota dewan, ketua fraksi, ketua DPR, menteri dan yang lainnya. Kenapa negara ini masih saja didominasi oleh orang-orang yang bermental penjahat? Orang-orang yang menjadikan rakyatnya sebagai obyek penderita. Dampak dari mega kroupsi E-KTP tersebut, jutaan rakyat belum memiliki E-KTP. Rakyat yang sudah melakukan perekaman E-KTP, menunggu bertahun-tahun dan sampai saat ini belum memperoleh KTP yang dibuatnya. Alasan yang umum adalah, blanko KTP nya habis, internetnya sedang error, petugasnya tidak masuk, dan sebagainya. Dalam pelaksanaan program pembuatan E-KTP itu, rakyat telah mengeluarkan anggaran untuk transportasi ke kantor kecamatan terdekat. Karena pada umumnya perekaman E-KTP dilaksanakan di kantor kecamatannya masing-masing. Kerugian yang telah dikeluarkan oleh masyarakat itu, siapa yang harus bertanggungjawab, karena hak rakyat menjadi terabaikan dan belum terpenuhi sampai kini? Belum lagi untuk keperluan urusan-urusan rakyat lainnya yang mengharuskan persyaratan menggunakan E-KTP. Berapa besar lagi kerugian yang harus ditanggung oleh rakyat. Terutama masyarakat miskin. Anehnya pemerintah saat itu, tidak cepat tanggap untuk segera menyelesaikan soal itu dan tidak pernah menyampaikan permintaan maafnya kepada rakyat, atas terganggunya pelayanan publik tersebut.
Dari hasil survei terbaru, menunjukkan bahwa lembaga terkorup adalah, DPR, birokrasi, DPRD, dan seterusnya. Ini jelas mempertegas bahwa orang-orang yang duduk di legislatif dan eksekutif, cenderung melakukan praktek korupsi. Baik itu yang ada di pusat maupun di daerah. Jadi, baik yang di legislatif maupun di eksekutif, mulai dari hulu sampai hilir, rawan korupsi. Negara dalam cengkeraman para koruptor. Realita itu menjadi keprihatinan kita semua. Kemudian, kalau kita telusuri siapa orang yang menjadi anggota legislatif dan pejabat di eksekutif itu, ya notabene mayoritas berasal dari partai politik. Berkali-kali sudah kita bahas dan ketahui, baik itu dari pengamat-pengamat politik nasional atau dari pakar-pakar lainnya, bahwa terjadinya mega korupsi E-KTP disebabkan oleh kegagalan parpol dalam membina atau mendidik kader-kadernya. Ujung-ujungnya adalah kenapa parpol jadi sering kecolongan oleh manuver-manuver yang dilakukan oleh kader-kadernya. Bagaimana tanggungjawab pengurus-pengurus parpol tersebut atas perilaku kadernya yang suka melanggar hukum seperti korupsi? Kalau parpol masih tidak mampu melaksanakan program kaderisasi untuk mencetak kader-kader yang kredibel, kapabel dan punya komitmen tinggi terhadap bangsa dan negara, maka sampai kapanpun negara tidak akan pernah lepas dari genggaman para koruptor. Apalagi jika pengurus parpolnya sendiri memang korup, bagaimana mungkin anggota atau kadernya akan bersih atau jujur. Pengurus parpolnya terlibat korupsi, secara tersirat telah mengajak bawahannya sendiri untuk melakukan hal yang sama. Dan yang paling mengerikan, jika ketua umum parpol menugaskan anggotanya untuk mencari jatah dan komisi ke berbagai pihak. Tanpa mempertimbangkan atau mengacu pada hukum yang ada.
Setelah jaksa membacakan dakwaannya dengan menyebutkan sejumlah nama-nama besar, biasa, seperti pengalaman sebelumnya, mereka ramai-ramai melakukan bantahan. Mereka menolak dikatakan menerima sejumlah uang seperti yang sudah disebutkan oleh jaksa. Semua membantah terlibat kasus mega korupsi E-KTP. Sandiwara yang ditunjukkan adalah, mereka seolah-olah terkejut. Kaget. Mereka mengatakan sedang diuji. Ujian yang seperti apa? Melakukan kejahatan kok dibilang ujian. Dengan logika yang sederhana dari sejumlah nama-nama yang didakwakan itu, mustahil kalau semua tidak bersalah. Andaikan saja, ada satu orang yang benar terlibat sesuai dakwaan, kok orang itu tidak mau tampil dengan mengakui kesalahannya? Di satu sisi, mereka benar-benar menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah. Di sisi lain, asas itu hanya digunakan sebagai dalih untuk menghindar dari jerat hukum. Budaya bantah-membantah sudah biasa dilakukan oleh para pejabat kita yang ditetapkan sebagai tersangka korupsi. Budaya yang tidak sehat itu dipelihara sampai turun-temurun. Toh yang membantah itu, pada akhirnya banyak yang di penjara. Malah budaya untuk mengatakan yang sejujurnya tidak dipertahankan dan tidak menjadi karakter bangsa sampai kini. Pejabat tidak menjadi motor untuk melakukan yang terbaik untuk rakyat. Hal ini sangat merugikan buat perjalanan bangsa dan negara ke depan. Generasi muda bahkan mendapat pelajaran, bahwa jabatan hanya dimanfaatkan untuk berbuat curang. Pejabat menjadi identik dengan pengkhianat.
Mereka yang membantah karena namanya disebut terseret kasus mega korupsi E-KTP, diantaranya adalah Marzuki Alie, Setya Novanto, Ganjar Pranowo, dan Gamawan Fauzi. Mereka menyebutkan tidak menerima aliran dana dari siapapun. Itulah yang terjadi setelah nama-nama besar itu muncul dalam persidangan E-KTP yang pertama. Perjalanan pengungkapan kasus mega korupsi E-KTP, akan terus berlanjut. Posisi pemerintah harus benar-benar jelas dan tegas, bahwa pemerintah mendukung atas penegakan hukum yang sedang dilakukan oleh KPK. Kejelasan sikap pemerintah itu sangat diperlukan untuk menumbuhkan kepercayaan masyarakat atas tegaknya keadilan. Keguncangan politik yang mungkin akan timbul selanjutnya, harus segera diantisipasi. Tapi kalaupun ada, keguncangan yang semacam apa? Enggak usah takut dengan isu akan terjadi chaos. Bangsa ini akan lebih dewasa dan maju, jika kesempatan emas atau kasus mega korupsi E-KTP dapat dituntaskan. Jangan sampai kasus itu menjadi layu sebelum berkembang. Bisa juga menjadi berlarut-larut dan tidak jelas akhirnya ceritanya. Atau nantinya para tersangka korupsi itu, ramai-ramai mengajukan praperadilan, agar dapat lolos dari hukuman. Kalau perlu, angkat lagi isu revisi undang-undang KPK, agar kewenangan KPK tidak terlalu besar. Kewenangan KPK harus dibatasi. Dengan isu revisi tersebut, penanganan kasus yang sedang ditangani, pasti terganggu. Segala cara dan langkah yang akan ditempuh itu, tujuannya adalah agar mereka yang terlibat, dapat lolos dari vonis hakim dan nama mereka tetap bersih di mata masyarakat. Mereka akan tetap dipercaya oleh rakyat. Apalagi bagi mereka yang berniat akan mencalonkan diri dalam Pilkada atau Pemilu Legislatif, yang akan datang. Selagi masih bisa menyelamatkan dan membersihkan diri dari segala bentuk sanksi hukum apapun dan masih ada kesempatan untuk manggung di dunia politik, maka mereka akan terus berkiprah, sambil tetap berusaha sebisa mungkin, terus mencari kesempatan untuk menjarah uang negara. Bagi para koruptor, dari fakta-fakta yang telah lalu, mereka tidak akan insyaf atau menghentikan perbuatannya sebelum tertangkap. Mereka sudah ketagihan mendapatkan dana dengan jumlah besar, tanpa memerlukan kerja keras. Syaratnya, mereka harus bisa mendapatkan jabatan di eksekutif atau di legislatif. Juga di yudikatif. Jabatan sekecil apapun dapat diupayakan sehingga menghasilkan keuntungan fantastis. Contohnya, kasus seorang panitera pengadilan, tiba-tiba bisa menjadi orang yang super kaya. Tentunya dengan cara-cara yang tidak benar.
KPK mengatakan, tidak gentar dengan bantahan-bantahan yang sudah dilakukan oleh orang-orang yang sudah disebutkan namanya dalam persidangan korupsi E-KTP. KPK tentu tidak sembarangan menetapkan seseorang menjadi tersangka. Bahkan tersangka baru kemungkinan akan muncul. Kemana anggaran E-KTP itu mengalir? Apakah ada parpol yang menerima aliran dana tersebut? Atau mengalir kepada penguasa-penguasa lainnya ketika itu sedang menjabat? Anggaran korupsi E-KTP itu, diprediksi mengalir sampai jauh. Jauhnya bisa meluluhlantakkan pondasi kenegaraan yang sudah kita bangun selama ini. Apabila parpol terbukti menerima aliran dana E-KTP dan itu diputuskan oleh pengadilan maka parpol itu bisa saja dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi.  Perlu diingat, bahwa negara ini bisa hancur bukan karena penjajahan oleh pihak asing, tapi oleh perilaku para pejabat negara itu sendiri.
Bencana bukan hanya ditimbulkan oleh gejala alam, seperti gunung meletus, longsor, tsunami, gempa bumi dan sebagainya. Tapi bencana yang lebih besar karena rusaknya sikap dan tingkah laku manusianya itu sendiri. Rusaknya moral bangsa dapat lebih berbahaya daripada bencana alam. Rakyat sudah capek, lelah, kesal, jenuh, marah dan seterusnya, mengetahui  dan melihat perilaku pejabatnya yang dari tahun ke tahun, bukannya malah membaik, tapi terus mengalami kemunduran. Bagaimana kita dapat menyongsong masa depan yang lebih cerah, kalau kondisi negara masih dicabik-cabik oleh sekelompok orang-orang penting.

Pemerintah seharusnya mengajak semua elemen masyarakat, mulai dari tokoh agama, akademisi, aktivis, dan yang lainnya, untuk terus memantau dan mengawal jalannya pengungkapan kasus mega korupsi E-KTP. Pemerintah bersama dengan rakyat, mendukung KPK untuk melakukan penuntasan kasus tersebut. Pemerintah sebaiknya menyampaikan statementnya secara resmi, menyikapi terbongkarnya kasus mega korupsi E-KTP. Presiden Jokowi, harus berani dan jangan hanya mengatakan,  bahwa pemerintah akan mempercayakan semua tahapan proses hukum, sepenuhnya diserahkan kepada KPK. Hal itu tidak cukup.  Statement atau penegasan itu harus disampaikan berkali-kali, agar penegakan hukum memenuhi rasa keadilan masyarakat. Ada baiknya presiden memanggil para ketua umum parpol dan memberikan warning, karena hampir semua yang terlibat itu berasal dari parpol. Perang melawan korupsi harus terus menerus didengungkan dan dikobarkan. Pengawasan terhadap kinerja aparat hukum harus ditingkatkan. Jika perlu jangan segan-segan mencopot atau mengganti orang-orang yang menjadi penghambat tegaknya supremasi hukum. Dari perjalanan negara ini, beberapa kali kita gagal memanfaatkan “peluang emas”, dari kesempatan adanya mega kasus yang pernah muncul. Kasus BLBI, gagal kita bongkar. Kasus Bank Century, gagal kita ungkap. Sekarang, kasus mega korupsi E-KTP, apakah kita harus kembali mengulangi kejadian yang sama, untuk ke sekian kalinya, gagal memanfaatkan “peluang emas”, yaitu gagal membongkar secara tuntas kasus tersebut??...


Tidak ada komentar:

Write a Comment


Top