FMPC: Masyarakat Harus Tolak Kawasan Industri




CIRANJANG – Menurut hasil pantauan dan investigasi Forum Masyarakat Peduli Cianjur (FMPC) di Cianjur yang menelisik keberadaan alihfungsi lahan pertanian untuk penggunaan bidang non-pertanian seperti pembangunan perumahan, industri, jasa, infrastruktur, dan kegiatan ekonomi lainnya, pengalihan fungsi lahan pertanian secara besar-besaran di Cianjur dinilai sudah tak terkendali. Peraturan mengenai permasalahan yg timbul dan keresahan yang dialami sebagian besar warga Kecamatan Ciranjang dan Sukaluyu, menurut FMPC, memerlukan perhatian yang lebih serius, karena ternyata setelah berdirinya kawasan industri di wilayah mereka, masih ada anggota masyarakat yang secara konsisten tetap menolak keras pembangunan tersebut.
Ketua FMPC, Farid Sandy, kepada Radar Cianjur mengatakan bahwa pihaknya ikut berpikir tentang dampak negatif yang ditimbulkan pembangunan industri, di antaranya polusi udara, serapan air, kesenjangan sosial, dan kemacetan lalulintas.
Kami juga berpedoman terhadap Perda (Peraturan Daerah—red) Nomor 17 Tahun 2012 Tentang RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah—red). Meskipun kabarnya Perda itu dikembalikan untuk dilengkapi oleh pihak Pemkab (Pemerintah Kabupaten—red) Cianjur, tetapi kami akan tetap konsisten memperjuangkan apa yang menjadi hak masyarakat. Data di Direktorat Jenderal Pengelolaan Lahan dan Air Kementerian Pertanian tahun 2005 menunjukkan bahwa setiap tahun sekitar 187.720 hektar sawah telah beralihfungsi ke penggunaan non-pertanian, terutama di Pulau Jawa. Sejalan dengan data tersebut, Direktorat Penataguna Tanah BPN (Badan Pertanahan Nasional—red) tahun 2005 menyatakan bahwa RTRW perlu ditinjau kembali," jelasnya.
Farid menambahkan, jika hal ini tidak diperhatikan, dari total lahan sawah irigasi seluas 7,3 hektar, maka hanya sekitar 4,2 juta hektar, atau hampir sekitar 57,6 persen yang dapat dipertahankan fungsinya. 
"Nah, sedangkan sisanya sekitar 3,01 juta hektar atau 42,4 persen akan terancam beralihfungsi ke penggunaan lainnya," lanjutnya.
Pihaknya juga mempertegas dengan data dari Biro Pusat Statistik (BPS) yang menunjukkan kemungkinan 60.000 hektar lahan pertanian dikonversi setiap tahunnya. Berbagai peraturan perundang-undangan telah dibuat guna mencegah dimanfaatkannya lahan pertanian untuk kegiatan non-pertanian. Misalnya Peraturan Menteri Dalam Negeri (PMDN) Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Ketentuan-ketentuan Mengenai Penyediaan dan Pemberian Tanah untuk Keperluan Perusahaan, PMDN Nomor 3 Tahun 1987 Tentang Penyediaan dan Pemberian Hak atas Tanah untuk Keperluan Pembangunan Perumahan, berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 53 Tahun 1989 Tentang Kawasan Industri, Keppres Nomor 54 Tahun 1980 Tentang Kebijaksanaan Mengenai Pencetakan Sawah.
“Itu merupakan contoh-contoh aturan yang melarang digunakannya lahan pertanian subur untuk penggunaan non-pertanian. Namun pada pelaksanaannya peraturan perundang-undangan tersebut tak efektif, karena kurang didukung oleh data dan sikap proaktif pemerintah yang memadai. Terdapat tiga kendala mendasar yang menjadi penyebab peraturan tentang pengendalian konversi lahan sulit dilaksanakan, yakni kebijakan yang kontradiktif, cakupan kebijakan yang terbatas, dan kendala konsistensi perencanaan," terang Farid. (mat)


Tidak ada komentar:

Write a Comment


Top