Pernikahan Dini Masih Marak Bisa Memengaruhi Produktivitas Nasional




JAKARTA - Praktik pernikahan dini di Indonesia tetap marak di kalangan masyarakat. Masih banyak perempuan dalam kelompok usia 18 tahun ke bawah yang memulai kehidupan rumah tangga lebih awal. Sayangnya, hal tersebut sering kali memutuskan peluang karir mereka dan menghambat potensi ekonomi Indonesia.

Deputi Bidang Statistik Sosial Badan Pusat Statistik (BPS) Sairi Hasbullah mengatakan, pihaknya telah melakukan survei yang melibatkan perempuan usia 20-24 tahun di Indonesia pada 2015. Berdasar data itu, 23 persen perempuan kelompok usia tersebut menikah sebelum usia 18 tahun.

Dalam kasus itu, rasio penduduk desa yang menjadi istri di usia muda memang lebih banyak. Yakni, 27,11 persen dari total peserta survei. Sementara itu, rasio perempuan menikah usia anak di perkotaan mencapai 17,09 persen. "Indikasinya hampir terjadi di seluruh Indonesia," kata Sairi di Hotel Sari Pan Pacific, Jakarta, kemarin (20/7).

Ada lima provinsi dengan rasio pernikahan dini di atas 30 persen. Yakni, Sulawesi dengan rasio 34 persen; Kalimantan Selatan 33,68 persen; Kalimantan Tengah 33,56 persen; Kalimantan Barat 32,21 persen; dan Sulawesi Tengah 31,91 persen. "Ini berarti satu di antara tiga perempuan di provinsi-provinsi tersebut menikah di bawah umur," ujarnya.

Dampak praktik menikah usia dini, lanjut dia, adalah perempuan yang cenderung memiliki pendidikan rendah. Dari survei tahun lalu, hanya 9 persen perempuan yang menikah muda bisa lulus SMA.

Deputi Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat, dan Kebudayaan Bappenas Subandi Sardjoko menjelaskan, tren pernikahan dini sudah menurun pada lima tahun terakhir. Hal itu dibuktikan dengan rasio pernikahan dini perempuan Indonesia pada 2008 yang mencapai 27,4 persen. "Kalau menurut Unicef, angka ini masih tinggi sekali, seharusnya sampai zero atau nol," jelasnya.

Dia menambahkan, fakta tersebut sebenarnya punya dampak secara tak langsung terhadap ekonomi. Sebab, Indonesia jadi kehilangan potensi tenaga kerja yang produktif. Hal itu secara tak langsung membuat daya saing usaha Indonesia menjadi lebih rendah. "Apalagi, perkawinan usia anak yang terjadi di pedesaan. Ekonomi desa jadi tambah lambat dan negara rugi karena tidak produktif." (bil/c7/agm)


Tidak ada komentar:

Write a Comment


Top