Refleksi Media War vs Media Hoax

*) Nanang Rustandi
BEGITU berseliweran berbagai informasi dan berita di era Jaman Now. Semua harus disortir mana yang benar-benar informasi baik dan informasi sampah.

Akhir-akhir ini bisa dibilang sejak gadget bisa dimiliki setiap orang, berbagai aplikasi sudah begitu dekat dan tinggal digerakan ujung telunjuk, sejak saat itu pula informasi sudah dekat dengan mata manusia. 

Harga data pulsa yang semakin terjangkau, maka sejak saat itu pula berbagai tulisan baik lewat short message service (sms), Line, Whatsapps, Instagram hingga yang terbaru Tado (aplikasi tanya jawab berbasis video pertama buatan anak bangsa) bermunculan, bahkan bayi baru lima bulan nongol ke dunia sudah bisa melirik handphone yang dipegang ibunya saat menyusui, anak taman kanak-kanak (TK) juga sekarang sudah pada bawa barang yang dikenal di dunia modern, bahkan postmodern sebagai dewa yang sangat membantu melebihi dari apapun.

Hingar bingar politik atau politisasi di dunia, regional dan Indonesia, keberadaan media sosial lewat handphone sangatlah menjanjikan untuk dijadikan kampanye propaganda. Apapun yang baik dan buruk tidak mudah untuk dibedakan, semua hampir mirip-mirip sama, orang bisa terjerumus masuk lewat doktrin untuk mengikuti kelompok tertentu yang dengan mudah untuk bisa dihasut.

Media sosial memang jadi corong yang mudah untuk kelompok tertentu memudahkan mencapai tujuan yang diinginkannya. Tapi ada pula yang sangat terbantu karena dengan sangat mudah orang melakukan transaksi dan jual beli secara online.     

Hingar bingar media sosial dan pemberitaan itu seperti merujuk pada pandangan kaum positivis yang mendefinisikan bahwa berita adalah refleksi dan pencerminan dari realitas. Jadi sebenarnya kalau mengkaji pada definisi tersebut telah dengan jelas jika ucapan ajakan ataupun tulisan apapun yang kemudian orang munculkan dalam media sosial maka itupun memiliki pengertian berita.

Berita adalah mirror of reality, karena harus mencerminkan realitas yang hendak diberitakan. Dalam bahasa Carey: News is not information but drama. it does not describe the world but portrays an arena of dramatic forces and action; it exist solely in historical time; and it invites our participation on the basis of our assuming, often vicariously, society. (Boston: Unwin Hyman, 1989).

Meski begitu definisi berita merupakan refleksi dari keadaan yang sebenarnya, ditolak oleh kaum Konstruksionis yang memandang berita adalah hasil dari konstruksi sosial di mana selalu melibatka padangan, ideologi, dan nilai-nilai dari wartawan atau media. 

Bagaimana realitas itu dijadikan berita sangat tergantung pada bagaimana fakta itu dipahami dan dimaknai. Proses pemaknaan selalu melibatkan nilai-nilai tertentu sehingga mustahil berita merupakan pencerminan dari realitas. Realitas yang sama bisa jadi menghasilkan berita yang berbeda, karena ada cara melihat yang berbeda (dalam Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media, Eriyanto, 2002).

Jika mengkaji dari pembahasan di atas, sebenarnya penulisa tidak ingin terlalu jauh membahas tersebut, karena ini bukan dikhususkan untuk sebuah materi ilmiah atau untuk dipublikasikan di jurnal ilmiah tertentu, tetapi penulis ingin menjelaskan jika sebuah perusahaan media saat ini harus benar-benar bersaing dengan yang namanya membuat berita yang benar dan bukan hanya berita karangan atau menyesatkan 'Hoax'.

Setiap perusahaan media baik cetak maupun elektronik saat ini terus berlomba-lomba menyuguhkan berbagai informasi yang dihimpun para jurnalisnya yang benar-benar berkualitas dan dibaca khalayak banyak, tentunya harus berbeda dengan tampilan dan konten yang ada di media sosial itu.

Berita yang sesuai dengan realitas yang ada di masyarakat, berimbang dan bisa dipertanggungjawabkan merupakan tugas perusahaan media untuk menampilkannya secara menarik. Sebab orang saat ini sudah jenuh dengan berbagai informasi yang tidak berbobot dan hanya menampilkan untuk membuat orang senang.

Era saat ini merupakan era digital yang kata orang-orang era millenial 0.4 (Bambang Sugiharto: 2017) merupakan dimana era manusia sudah dipenuhi oleh alat-alat elektronik canggih dan memudahkan orang untuk melakukan apapun.

Lagi-lagi penulis ingin kembali mengungkapkan, jika keberadaan media cetak dimana penulis juga seorang praktisi media cetak yang sudah hampir menginjak 17 tahun mengalaminya senang dan ketirnya mengelola sebuah perusahaan pers yang membutuhkan kesabaran dan keuletan yang luar biasa.

Ya di hari berdirinya Harian Radar Cianjur (Grup Radar Bogor) yang ke 5 ( 2 Februari 2013-2 Februari 2018) terus berusaha untuk bisa menampilkan informasi dan menyuguhkan berita yang sesuai fakta dan berimbang sesuai Undang-Undang Pers No 40 Tahun 1999 dan turunannya berupa Kode Etik Jurnalistik (KEI).   

Di hari jadinya yang bisa dibilang usia Emas, menjadikan Radar Cianjur harus benar-benar mengakar dan bisa dibaca semua kalangan. Media yang berdiri dari tangan-tangan yang konsisten dengan menampilkan informasi yang benar dan berimbang, menjadikan media dengan taglane 'Lebih Cepat, Lebih Berkualitas' untuk benar-benar sampai pada tangan pembaca sepagi mungkin dan berkualitas bisa menjadi referensi bagi setiap pembacanya. Kami yakin kami akan tetap menjadi yang terbaik ketika kami menyuguhkan berita yang benar-benar bisa diterima pembaca, untuk itu hingga usianya ke 5 dan pada hari-hari yang akan datang kami yakin "Kami Ada Karena Kami Dibaca".(*)

*) Penjab Redaksi/HRD Radar Cianjur dan Akademisi di PTS Cianjur.     


Tidak ada komentar:

Write a Comment


Top